Senin, 04 Mei 2009

VYGOTSKY IN THE CLASSROOM MEDIATED LETERACY INTRUCTION AND INTERVENSTION

Ditulis Oleh : Lisabeth Dixon-Krauss
Disarikan Oleh : Zaenal Alimin


A. Pendahuluan

Buku yang dilaporkan ini berjudul Vygotsky in The Classroom Mediated Literacy, Intruction And Assessment, yang ditulis oleh Lisbeth Dixon-Krauss, dan diterbitkan oleh Longman Group Ltd, London, diterbitkan tahun 1996. Alasan mengapa buku ini dijadikan laporan dalam tugas studi individual, karena ada konsep yang sangat menarik untuk dikaji berkenaan dengan konsep Zone of Proximal Development dan konsep Mediated Learning yang merupakan teori original dari seorang ilmuwan dalam psikologi dan sastrawan, berkebangsaan Rusia yang lahir pada tahun 1896 dan meninggal dunia pada tahun 1934.
Vygotsky seorang ilmuwan yang sangat cerdas yang telah melahirkan ratusan artikel hasil penelitian dalam bahasa Rusia. Gagasan-gasan Vygotksy yang sangat original, baru dikenal di Dunia Barat sekitar tahun 1962, ketika buku hasil karya yang terahir berjudul Thought and language diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sejek itulah Vygotsky dikenal di Dunia Barat dan pikiran-pikirannya mempengaruhi para ilmuwan psikologi dan pendidikan dalam memahami perkembangan anak.
Vygotsky adalah salah seorang tokoh dari tiga tokoh lainnya dalam bidang psikologi, yaitu Piaget dan Brunner yang mengilhami dan memberi konstribusi sangat besar terhadap pembentukan teori konstuktivisme yang saat ini dipandang sebagai teori belajar yang paling modern dan banyak dianut oleh para ilmuwan dalam bidang psikologi dan para pakar pendidikan di seluruh dunia. Konsep yang sangat menaraik yang dirumuskan Vygotsky adalah tentang Zone of proximal development.
Zone of Proximal Development yang dimaksud oleh Vygotsky adalah jarak antara kompetensi orang dewasa dengan posisi perkembangan aktual yang sudah dicapai oleh seorang anak. Proses belajar adalah proses mendekatkan jarak antara kompetensi orang dewasa dengan perkembangan aktual anak, dan jika jarak antara kedunya semakin dekat, itu berarti telah terjadi perkembangan. Pada zone inilah sesungguhnya proses belajar itu terjadi pada diri seorang anak, dan perkembangan dipandang sebagai hasil belajar.
Sementara itu mediated learning adalah interaksi antara anak dengan orang dewasa yang terjadi pada daerah zone of proximal development. Oleh karena itu esensi proses belajar menurut persektif ini, adalah interaksi dan komunikasi antara anak dengan orang dewasa. Keberhasilan belajar pada anak-anak akan sangat tergantung pada intensitas interaksi dan komunikasi itu.
Buku ini memberikan inspirasi kepada penulis dalam merumuskan konsep pembelajaran bagi anak tunagrahita digabungkan dengan konsep yang dikembangkan dalam konseling perkembangan. Pemikiran Vygotsky yang ditulis oleh Lisbeth Dixon-Krauss, merupakan refernsi penting dalam penulisan disertasi tentang model pembelajaran berbasis konseling pada anak tunagrahita.

B. Resume Isi Buku

Isi buku ini secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama membahas tentang Classroom Instruction dan bagian kedua membahas tentang Classrom Assessment. Pada bagian pertama dijelaskan tentang ide pokok teori Vygotsky dikaitkan dengan pembelajaran bahasa. Di sini dijelaskan tentang model mediasi atau dapat disebut juga mediated learning dalam pembelajaran yang perlu dilakukan oleh para guru untuk membantu anak mencapai perkembangan lebih lanjut. Pada setiap bab disajikan contoh-contoh nyata tentang pembelajaran yang mengimplementasikan ide-ide Vygotsky.
Pada bagian kedua dijelaskan tentang ide-ide Vygotsky dalam melam melakukan asesmen. Menurut Vygotsky, asesmen yang dilakukan oleh guru harus bersifat dinamik (dynamic assessment), yaitu dilakukan pada saat anak sedang mengikuti proses pembelajaran. Asesmen dinamik digunakan untuk menjelaskan keragaman perkembangan dan potensi setiap anak untuk menjamin perkembangan selanjutnya.
Pada bagian dua ini dijelaskan tentang isu-isu mutahir dalam asesmen pembelajaran seperti penggunaan portofolio, inkusivitas keragman budaya setiap anak, dan mempertimbangkan anak-anak yang memiliki resiko mengalami hambatan belajar serta penggunaan teknologi sebagai alat untuk meningkatkan proses kognitif dan proses sosial dalam perkembangan anak.

1. Resume Bagian Pertama
Vygotsky dalam mempelajari perkembangan intelektual anak menggunakan apa yang disebut dengan Instrumental Method. Selajutnya dijelaskan bahwa metode ini memfokuskan kepada keaktipan anak dalam menggunakan bahasa. Instrumental Method yang dikembangkan oleh Vygotsky mencakup dua ide penting tentang bahasa dan belajar: (1) Bagaimana anak belajar menggunakan sistem tanda (sign sytem), mengunakan bahasa pertama sebagai alat secara psikologis (psychological tools) untuk berkomunikasi atau berbagi dalam memahami makna budaya (cultural meaning). (2) Bagaimana menggunakan tanda-tanda yang terdapat pada budaya seperti, bahasa, afeksi dalam belajar dan perkembangan kognitif.
Bagi Vygotsky, tatanan yang paling cocok untuk mempelajari bagaimana pikiran anak berkembang, adalah sekolah dan kelas dalam konsteks pembelajaran. Bab I buku ini memulai dengan contoh tentang ide utama vygotsky tentang sociohistorical theory dalam perkembangan kognitif yang dihubungkan dengan pembelajaran. Ide ini kemudian dikaitkan dengan tiga gerakan mutahkir di Dunia Barat tentang belajar dan pembelajaran, terutama dalam pembelajaran bahasa, yaitu (1) Constructivism (2) Emergent literacy (3) Whole language.
Pada bab 2 dan 3 model mediasi dalam pembelajaran bahasa digunakan sebagai pedoman untuk merancang dan melaksanakan pembelajaran dari perspektif Vygotsky. Pada bab 3, dijelaskan tentang bagaimana belajar konsep sistematik secara lebih abstrak, yang oleh Vygotsky disebut sebagai scientific conscept, untuk mengembangkan kesadaran anak dalam mengontrol cara berpikir mereka.
Pada bab 4, 5 dan 6 membahas secara spesifik tentang ide Vygotsky yang telah diterapkan di kelas-kelas Sekolah Dasar. Ada contoh pada bab 4 yang menggambarkan tentang pembelajaran bahasa yang fokus pada hubungan interaski sosial dimana anak menggunakan bahasa secara oral dan menggunakan bahan cetak untuk mengembangkan kecakapan berpikir. Pada bab 5, mendiskusikan bagaimana konsteks sosial anak kolaborasi dengan kelompok sebaya dalam aktivitas belajar dapat meningkatkan perkembangan kognitif dan afektif. Pada bab 6, didiskusikan tentang bagaimana guru dapat mengintegrasikan hasil observasi tentang anak dengan hasil analisis tentang tulisan yang dibuat anak untuk mengetahui perkembangan mental. Pada bab ini juga dibahas tentang pembelajaran di kelas yang berpusat pada siswa.
Kesimpulan akhir dari bagian pertama buku ini adalah bahwa gagasan Vygotsky tentang berpikir anak selalu berkaitan dengan konsteks sosial dan budaya dimana anak itu berada. Cara penggunaan bahasa dalam aktivitas pembelajaran sangat mempengaruhi perkembangan berpikir anak. Oleh karaena itu pembelajaran pada anak harus selalau terkait dengan konstek sosial anak yang bersangkutan. Pembelajaran tidak boleh lepas dari konstek sosial budaya dari anak yang bersangkutan.

2. Resume Bagian Kedua
Pada bagian dua dibahas tentang classroom assessment, yang didasarkan pada konsep zone of proximal development, sebagai respon terhadap praktek pendidikan yang menggunakan tes IQ dalam mengukur potensi seorang siswa untuk belajar. Menurut Vygotsky, hampir semua penelitian yang berkenaan dengan pembelajaran di sekolah, mengukur tahap perkembangan mental anak dengan cara memecahkan soal-soal tes standar.
Soal-soal yang dapat dipecahkan/dijawab oleh anak dalam tes seperti ini mengiindikasikan tahap perkembangan mental pada waktu tertentu. Dan cara seperti ini, hanya dapat mengukur dan mengetahui sebagian kecil perkembangan anak. Artinya tidak menggambarkan keseluruhan apa yang terjadi pada diri anak. Vygotsky menjelaskan bahwa tes standar yang mengukur kemampuan siswa , hanya mengukur perkembangan aktual atau mengukur apa yang telah dipelajarai/diketahui. Cara seperti ini oleh Vygotsky disebut static assessment.
Vygotsky meyakini bahwa asesmen dalam pendidikan seharusnya juga mengetahui perkembangan potenial anak, atau yang terjadi dalam proses belajar. Perkembangan potensial berada pada daerah yang oleh Vygotsky disbut zone of proximal development., yang meliputi kesenjangan antara perkembangan aktual anak dengan level tertringgi yang mungkin dapat dicapai, manakala anak mendapat dukungan dan bantuan ketika berkolaborasi dengan orang dewasa. Untuk mengetahui perkembangan potensial anak pada zone of proximal development, hanya dapat dilakukan dengan menggunakan dynamic assesment, yaitu mengetahui unjuk kerja anak pada saat berkolaborasi dengan orang dewasa. Dengan kata lain anak dapat melakukan sesuatu tugas yang lebih tingi dari level perkembangan aktualnya, jika mendapat bantuan dari orang dewasa.
Asesmen dinamik dan ide Vygotsky tentang Zone of proximal development fokus pada interaksi sosial sebagai kunci untuk belajar. Belajar melalui interaksi sosial adalah belajar yang sesunguhnya. Sebagai contoh, belajar bahasa atau membaca tidak akan dapat dilakukan sendirian, karena belajar itu berari dari dan dengan orang lain. Asesmen dinamik membekali guru dengan informasi yang lebih lengkap dan metoda analisis yang berbeda dari asesmen statik.
Bagian dua buku ini menelaah ide-ide dan isu-isu penting berkenaan dengan asesmen dinamik, dimana guru secara terusmenerus memecahkan masalah yang terjadi dalam pembelajaran dan membuat keputusan dengan menganalisis bagaimana ia mengajar dan bagaimana siswa belajar
a. Asesmen Sebagai Proses Bekelanjutan
Dalam asesmen dinamik, varaiabel waktu menjadi sangat penting, karena dalam melihat perkembangan intelektual, harus menggambarakan keadaan anak pada masa lalu, saat ini dan prediksi ke depan. Tidak mungkin perkembangan hanya dilihat saat ini saja. Vygotsky menggunakan istilah fossilized dan ripe ketika menjelaskan asessmen statik yang menggunakan tes standar.
Tes macam standar menurut Vygotsky hanya menghasilkan informasi tentang apa yang sudah dipelajari anak pada masa lalu. Sebaliknya, Vygotsky menggunakan istilah emerging dan ripening untuk menggambarkan bagaimana asesmen dinamik membantu anak memunculkan potensi perkembangan ketika mendapat bantuan dari orang deasa. Hasil asesmen dinamik menginformasikan apa yang sendang dipelajari anak saat ini dan mengantisipasi apa yang akan dapat dilakukan oleh anak pada waktu yang akan datang. Asesmen yang dapat mengungkap keadan anak pada waktu yang lalu, saat ini dan prediksi perkembangan pada waktu yang akan datang sangat penting untuk guru kelas.
b. Asesmen sebagai Proses Inklusif
Tema lain dalam ide Vygotsky tentang zone of proximal development adalah variabel inklusivitas. Dijelaskan bahwa asesmen harus mencakup dua elemen: (1) Siswa harus terlibat pada tugas-tugas yang lebih sukar dari level perkembangannya (2) Unjuk kerja siswa dalam mengerjakan tugas-tugas harus difasilitasi oleh orang dewasa atau orang yang punya kapabiltas. Di dalam asesmen dinamik, analisis harus mengintegrasikan dua aspek yaitu tingkat kesukaran tugas yang dikerjakan anak dan kontek sosial tentang kemampuan anak dalam belajar dan bagaimana pembelajaran memaksimalkan perkembangan.
1. Tingkat Kesulitan Tugas untuk Anak
Tingkat kesulitan dari tugas-tugas (contoh dalam hal membaca) adalah isu penting dalam pembelajaran. Asesmen yang sangat populer untuk menentukan kecakapan anak dalam membaca dengan teks yang dibaca adalah IRI (Informal Reading Inventory). Keuntungan dari IRI dibandingkan dengan tes standar lainnya adalah bahwa IRI mengukur kemampuan anak dalam membaca, sambil anak terlibat dalam aktivitas membaca.
Dengan IRI, guru dapat mengetahui pada level mana perkembangan kemampuan anak dalam membaca. Oleh karena itu guru bisa menentukan tugas mana yang dianggap lebih sukar bagi anak. Namun demikian IRI mengabaikan aspek konteks sosial dalam belajar (membaca), karena IRI bersifat asesmen statis. Oleh sebab itu, agar asesmen mengarah ke asesmen dinamik, harus mempertimbangkan aspek kontek sosial dan meningkatkan tingkat kesulitan tugas dua atau tiga tiga level di atas kemampuan aktual anak.
2. Kontek Sosial
Kontek sosial berkenaan dengan performen yang dapat dilakukan anak dengan bantuan adalah isi penting dalam pembelajaran. Asesmen dinamik memberikan informasi yang lengkap tentang anak perkembangan daripada asesmen statik. Asesmen statik mengukur sebagus apa seorang anak dapat melaukan tugas, atau sejelek apa anak melakukan tugas-tugas ketika belajar. Informasi seperti ini secara trasisional digunakan untuk mensortir siswa ke dalam kelompok (siapa yang menunjukan kinerja baik, siapa yang rata-rata, dan siapa yang gagal).
Sebaliknya, asesmen dinamik menyediakan informasi tentang bantuan apa yang perlu diberikan kepada siswa dalam mengerjakan tugas. Informasi seperti itu memungkinkan guru merancang dan menyesuaikan kelas kepada latar belakang anak yang berbeda-beda, sehingga semua anak bisa terlibat di dalmnya.
Analisis tentang konteks sosial mencakup dua hal yaitu jumlah dan kualitas bantauan yang disediakan bagi anak. Jumlah bantuan merentang dari bantuan yang langsung ke bantuan tidak langsung. Sebagai contoh, jika anak diberi tugas untuk membaca tek yang sangat sukar maka bantuan langsung akan lebih banyak diberikan, tetapi apabila tugas yang diberikan tidak terlau sukar maka bantuan bearsifat tidak langsung lebih banyak diberikan. Guru dapat menentukan bagaimana menyesuaikan bantuan kepada anak dapat dilakukan dengan mengobservasi dan menganalisis interaksi sosial ketika anak mengerjakan tugas.
Penyesuaian kualitas bantuan memungkinkan bagi guru dalam melakukan pembelajaran memperhatikan laterbelakang budaya dan etnik. Sebagai contoh, anak yang di rumahnya terbiasa saling membantau dan bekerja sama dengan sodara-sodaranya, akan sangat menguntungkan apabila bantuan yang diberikan kepadanya bersifat kolaboratif.
Pada bagian dua buku ini memberikan penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana melakukan dan menganalisis informasi yang diperoleh dari asesmen dinamik. Pada setiap bab, merefleksikan perspektif Vygoskian bahwa asesmen adalah proses yang bersifat berkelanjutan termasuk didalamnya mengandung aspek kontek sosial dari belajar dan pembelajaran. Dari persektif ini pengarang buku ini menyatakan beberapa isu dan masalah pembelajaraan didalam kontek asesmen dinamik.
Pada bab 8 misalnya, penulis buku ini menjelaskan tentang kelas yang siswa siswanya itu beragam, datang dari latar belakang budaya yang berbeda-beda. Penulis buku ini menggambarkan bagaimana guru seharusnya bertindak untuk mengembangkan sikap positip yang dapat diterima oleh budaya etnik yang beragam dan melaksanakan pembelajaran yang merefleksikan nilai-nilai budaya yang beragam itu.
Pada bab 9 dibicarakan tentang isu-isu asesmen dinamik berkenaan dengan anak-anak yang beresiko mengalami hambatan perkembangan. Pada bab ini ada penjelasan tentang bagaimana cara mengintegrasikan asesmen dalam pembelajaran, dimana guru menlakukan penyesuaian kualitas bantauan terhadap kebutuhan setiap anak.
Pada bab 10, didiskusikan tentang bagaimana menggunakan asesmen dengan portofolio. Dijelaskan lebih lanjut bagaimana portofolio lebih dari sekedar kemasan untuk menyimpan tugas-tugas yang dikerjakan anak. Pada bab ini juga dijelaskan tentang portofolio yang digunakan untuk meng-ases kesadaran metakognitif.
Pada bagian akhir buku ini dijelaskan tentang ide Vygotsky tentang bagaimana menggunakan cultural sign mempengaruhi belajar, ketika teknologi dipandang sebagai psychological tool yang akan digunakan di dalam kelas. Dijelaskan tentang bagaimana teknologi dapat menjadi psychological tool yang menjembatani berpikir dan belajar pada anak.

Selasa, 21 April 2009

SUBJECTIVE PERCEPTIONS & COPING BY MATHERS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL DISABILITY A NEEDS ASSESSMENT

Frances Hill
Rona Newmark
And
Lesley Le Grange
University of Stellenbosch
Diterjemahkan oleh: Zaenal Alimin


Abstrak

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengekplorasi coping strategy yang dilakukan oleh 12 ibu dari anak tunagrahita. Penelitian ini merupakan bagian dari analisis kebutuhan kualitas hidup individu yang mengalami ketunagrahitaan pada level perkembangan yang berbeda. Partisipan penelitian ini diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam angket yang sudah divalidasi. Setelah itu partisipan diminta untuk mejawab pertanyaan-pertanyaan wawancara semi tersruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman dan perasaan partisipan dalam menghadapi anaknya yang tunagrahita meliputi: orang tua merasa marah, khawatir dan takut akan masa depan anaknya, takut anak ditolak oleh lingkungan, memiliki rasa bersalah, sedih, tetapi juga ada yang senang dan bangga. Dalam menghadapi kenyataan bahwa anak-anaknya tunagrahita, partisipan melakukan tindakan (coping strategy) yaitu mencoba berpikiran bijaksana, mencoba mencari dukukangan sosial dan emosi, ada juga yang menerima dengan pasrah. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan, sukar bagi orang tua untuk bisa menerima keadaan anaknya yang tunagrahita tanpa bantuan para profesional, orang tua membutuhkan dorongan semangat untuk memberdayakan diri mereka.

Akhir-akhir ini layanan bagi individu yang mengalami ketunagrahitaan dilandasi oleh HAM. Layanan bagi mereka tidak lagi bersipat institusional di panti tetapi dikembalikan kepada orang tua atau disebut dengan program de-institusionalisas i. Oleh karena itu orang yang paling bertanggung jawab dalam penanganan anak tunagrahita berada di tangan orang tua, secara lebih khusus adalah ayah dan ibu.
Sehubungan dengan itu penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang kualitas hidup anak atau individu tunagrahita yang berada di lingakungan keluarganya, dengan meng-asesmen perasaan orang tua dalam menghadapi anaknya yang tunagrahita dan coping strategy yang mereka gunakan.



Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama penelitain kuantitatif dan tahap kedua penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini terlebih dahulu dibentuk pilot group yang beraggotakan 4 orang partisipan dari orang tua anak tunagrahita di sekolah yang sama. Kelompok ini merupakan kelompok uji coba instrumen penelitian, yang menelaah sesitivitas bahasa yang digunakan, relevansi dari pertanyaan-pertanyaan yang digunakan dalan angket dengan konstek budaya. Berdasarkan uji coba inilah lahir isntrumen penelitian yang dianggap valid.
12 orang partisipan (orang tua anak tunagrahita) diminta untuk menjawab dua angket. Pertama, angket tentang QRS (Questionnaires on Resources and Stress), yang meliputi 51 pertanyaan benar salah yang fokus pada bagaimana perasaan orang tua memiliki anak tunagrahita. Angket kedua tentang mengungkapkan coping strategy yang digunakan oleh oang tua dalam menghadapi anaknya yang tunagrahita, yang disebur WC-R (Way Coping-Rivised), terdiri dari 46 butir dalam bentuk skala Likert. Pertanyaan-pertanyaan pada skala ini mengungkap coping strategy yang dipilih oleh orang tua. yaitu a) practical coping b) wishful thinking c) stoicism d) seeking emotional social support dan e) passive acceptance.

Hasil Penelitian
Data biografi menunjukkan bahwa rentang usia partisipan antara 36-37 tahun. 10 dari 12 partisipan menyatakan bahwa anaknya yang tunagrahita memiliki saudara kandung yang tinggal berama di rumah. Sementra 2 partisipan lainnya menyatakan bahwa anaknya adalah satus-atunya (anak tunggal). 11 dari 12 partisipan mempunyai pasangan. Afiliasi agama dari partisipan mayoritas,10 parisipan beragama kristen dan 2 orang muslim. Status pekerjaan dari partisipan adalah 6 partisipan bekerja full time, 2 partisipan bekerja part time, 3 orang sebagai ibu rumah tangga dan satu orang bekerja wirausaha bersama suaminya. Dilihat dari bahasa yang digunakan, 4 orang berbahasa Inggris, pengguna bahasa Afrika 5 orang dan penggunan bahasa Ingris dan Afrika 3 orang.
Hasil analisis kuantitatif dari QSR menunjukkan bahwa tidak semua perasaan orang tua yang bersifat unik dapat terungkap, hanya aspek-aspek yang bersifat umum saja yang dapat diketahui. Oleh karena itu data yang bersifat khas dan unik dari tiap partisipan tiungkap oleh instrumen yang kedua yaitu WC-R, yang berbentuk wawancara terstruktur. Pearasaan orang tua yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
i) Khawatir akan masa depan anaknya yang tunagrahita
ii) Orang tua merasa kesulitan memahami kemampuan anaknya yang terbatas
iii) Anak tunagrahita dianggap bukan sebagai masalah dalam keluaraga
iv) Orang tua sering merasa khwatir tetapi tidak sampai depsresi.
Setelah menganalisis dua macam angket secara terpisah, maka dilakukan perbandingan analisis antara angket QSR dengan WC-R pada setiap partisipan. Data hasil analisis perbandingan dapat dijelaskan bebagai berikut:
1) Orang tua (ibu) menganggap bahwa dialah orang yang paling utama dalam mengasuh anaknya yang tunagrahita, setelah anak aga besar perlu mendapat bantuan dari ayahnya
2) Terdapat perhatian yang kontinues terhadap perkembangan anak tunagrahita dari orang tauanya
3) Persepsi ibu terhadap masa depan anaknya yang tunagrahita
4) Perasaan Ibu tentang anaknya yang tunagrahita untuk masuk seekolah reguler atau sekolah khusus
5) Ada pengaruh finansial dari kehadiran anak tunagrahita terhadap keluarga
6) Ibu membutuhkan waktu lebih banyak untuk membantu anaknya yang tunagrahita
7) Pengalaman ibu ketika pertama kali didiagnosa sebagai anak tunagrahita
8) Tingkat penerimaan ibu terhadap anaknya yang tunagrahita
9) Dampak dari memiliki anak taunagrahita terhadapa nilai kehidupan dan ada dampak dari keyakinan agama si ibu dalam mempersepsi anak tunagrahita.

Berikut ini adalah coping strategy yang dilakukan orang tua anak tunagrahita:
1) Kerlibatan ibu dengan anak tunagrahita memberikan rasa kontrol
2) Bekerja sama dengan profesional (guru/dokter) untuk memperoleh informasi atau dukungan emosional
3) Dukungan dari orang tua anak tunagrahita lainnya

4) Ada kepedulian dari satu orang tua kepada orang tua lainya ketika misalnya ada orang tua yang masuk rumah sakit, maka anaknya yang tunagrahita diurus oleh orang tua lain.
5) Keterlibatan ayah dalam mengasuh anak tunagrahita menjadi sangat berarti ketika ibu sedang bekerja
6) Dukungan keluarga besar (extended family) tidak terlalu berarti dalam mengasuh anak tunagrahita
7) Berpasrah diri pada realitas yang dihadapi bahwa anaknya tunagrahita
8) Perasaan humor
9) Sering membicarakan anaknya dengan orang lain

Kesimpulan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perasaan orang tua dalam hal ibu dari anak tunagrahita dan mengetahui coping strategy yang digunakan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup anak tunagrahita dengan meng-asesmen kebutuhan-kebutuhan dari orang yang mengasuh anak tunagrahita (ibu anak tunagrahita). Kebutuhan seorang ibu anak tunagrahita didefinisikan dalam dua kategori, pertama perasaan seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita, kedua strategi yang digunakan agar coping dengan anaknya yang tunagrahita.
Penelitian ini bersifat eksploratif untuk kepentingan penelitain lebih lanjut dalam rangka memperbaiki kualitas hidup anak tunagrahita pada masa yang akan datang. Untuk dapat melakukan generalisasi dari penelitian ini, diperlukan ukuran sampel yang lebih besar.

Jumat, 30 Mei 2008

Komentar dan Pertanyaan Anda

Halaman ini disediakan khusus bagi anda yang ingin berkomentar tentang

isi blog "Zaenal Alimin" dan bagi anda yang

ingin mengajukan
pertanyaan yang terkait dengan isi blog ini.

Untuk berkomentar atau mengajukan pertanyaan, silakan klik link

Komentar di bawah ini.

Jika saya memandang bahwa komentar atau pertanyaan anda perlu direspon,

respon saya dapat anda baca kemudian dengan mengklik link yang sama.
(Zaenal Alimin)